Sepasang Merpati Dalam Cerita

sepasang-merpati-dalam-sebuah-cerita-ilustrasi-rizka-viramadhina

 

Kita adalah sepasang merpati dalam cerita yang ditulis oleh pengarang tua itu. Pengarang yang hidupnya selalu sepi dan selalu dilanda kesedihan yang kita tahu sejak cerita tentang kita mulai ditulis. Kita tak tahu pasti apa yang menyebabkan ia kesepian dan selalu merasa sedih dalam hidupnya. Mungkin kesedihannya disebabkan oleh foto yang kini tergeletak di atas meja kerjanya. Foto seorang wanita berambut ombak yang tengah tersenyum, menggunakan gaun putih seperti dalam pesta ulang tahun dan membawa bunga mawar. Mungkin itu foto lama, karena sudah sedikit usang dan bingkainya mulai berdebu…

Setiap pagi, ketika pengarang tua itu terbangun dari tidurnya, ia akan menghampiri foto itu. Ia akan memandangi foto itu lekat-lekat dari ujung rambutnya, kemudian akan berhenti pada senyumnya, hingga akhirnya pengarang kita akan tersenyum, atau meneteskan air mata. Sesekali, ia juga akan memeluk foto itu seperti seorang ayah memeluk anaknya, atau lebih tepatnya seorang suami memeluk istrinya. Begitu juga ketika siang hari sebelum ia makan, sebelum mulai menulis, ataupun malam sebelum tidur, ia selalu memandangi foto itu dengan mimik yang hampir sama: tersenyum, atau meneteskan air mata.

Kita tak pernah mengerti benar, bagaimana sebuah foto bisa membuat seseorang merasa kesepian ataupun bersedih. Hingga suatu hari, diam-diam kita menyimpulkan bahwa wanita di foto itu adalah istrinya.

Merasa iba dengan nasib pengarang tua itu, kita berniat untuk menghiburnya agar ia tak kesepian ataupun bersedih lagi. Lalu kita membayangkan diri kita sebagai sesosok makhluk yang jenaka seperti badut misalnya, dengan hidung besar berwarna merah, dan muka yang menggemaskan. Lalu di depannya kita akan membuat sebuah pertunjukan sirkus yang tidak terlalu serius tetapi jenaka. Dan kita membayangkannya ketika pengarang tua itu tertidur pulas setelah sebelumnya ia menangis karena foto wanita yang kita simpulkan sebagai istrinya. Aku yang memulai mengatakan ide itu kepadamu sebelum kita membayangkan hal itu bersama-sama.

Namun, akhirnya kita sadar bahwa kita masih terkurung dalam cerita yang dibuat oleh pengarang tua itu. Lalu kita mengutuki diri kita sendiri karena tidak bisa membantu pengarang tua itu, dan kenapa pula pengarang itu menciptakan kita sebagai sepasang merpati dan bukan sepasang badut yang jenaka, atau sepasang badut pemain sirkus. Andaikan pengarang itu bisa secepatnya menyelesaikan kisah kita, mungkin ia akan menulis kita dalam tokoh cerita lain, dan kita berharap itu adalah cerita yang jenaka, dengan tokoh kita sebagai sepasang badut. Meskipun peluang ia membuat tokoh ceritanya sebagai badut adalah seperseribu bahkan seperjuta sekian, tapi apa salahnya jika kita berharap bahwa kemustahilan itu tak pernah ada dan yang ada hanyalah kepastian bahwa tokoh cerita yang akan ia buat setelah menyelesaikan cerita kita adalah badut yang lucu.

***

Pada suatu pagi, di hari minggu yang cerah, untuk pertama kalinya kita melihat pengarang tua itu tertawa setelah ia berbicara dengan seseorang lewat telepon. Kita berpikir ia mendapatkan sesuatu yang menyenangkan dari seseorang yang meneleponnya, dan hal itu membuat ia melupakan kesedihannya.

“Sayang, hari ini tulisanku dimuat di media nasional yang aku impikan dari sejak awal aku mulai menulis. Dan siang nanti aku akan dikirimi bukti terbitnya, dan seminggu lagi tukang pos akan datang mengetuk pintu rumah kita membawa honor tulisanku. Aku bahagia sekali hari ini sayangku.”

Kita melihat ia mengelus foto istrinya, tawanya hilang lalu berganti air mata.

“Andai saja kau ada di sini bersamaku, pasti kau akan ikut bahagia. Kau akan meloncat-loncat seperti anak kecil, lalu kau akan mengajakku keluar untuk jalan-jalan dan pasti aku akan mentraktirmu makan di restoran impianmu.”

Pengarang tua itu kembali tenggelam dalam kesedihannya. Kita ikut terseret dalam kesedihan, dan aku melihat matamu berkaca-kaca yang membuat mataku juga ikut berkaca-kaca. Betapa kesedihan selalu berteman air mata.

Jam sebelas limabelas, seseorang mengetuk pintu rumahnya, dan ia cepat-cepat menghapus air matanya degan lengan bajunya, lalu bergegas mendekati pintu rumahnya. Di depan pintu ia mendapati seorang tukang pos telah berdiri dan menyodorkan sebuah koran nasional yang memuat tulisannya. Setelah menemukan halaman yang memuat tulisannya, dan menghempaskan lembaran koran lainnya yang ia anggap tidak penting, ia kembali mendekati foto istrinya.

“Lihat, ini dia korannya! Aku sudah menerimanya. Aku bahagia. Kau juga harus ikut bahagia di sana melihatku bahagia. Kau juga harus ikut tertawa seperti aku hari ini.”

Ia terus saja berkata dengan nada yang menggebu-gebu dan penuh kegirangan walaupun foto itu tak pernah mengucapkan kata “selamat” kepadanya, hingga akhirnya ia kelelahan dan tertidur di atas meja menindih koran yang memuat tulisannya.

***

Satu minggu kemudian, ketika pengarang tua itu baru selesai makan dan memandangi foto istrinya, seseorang kembali mengetuk pintu rumahnya yang ternyata adalah tukang pos. Tukang pos itu menyodorkan sebuah amplop padanya dan ketika ia membukanya, amplop itu berisi sejumlah uang dan sepucuk surat pengantar untuk honor tulisannya.

Sore harinya, ia pergi meninggalkan cerita tentang kita sepasang merpati dan foto yang biasa ia pandangi dengan membawa isi amplop yang ia terima dari tukang pos, kecuali surat pengantarnya yang ia biarkan tergeletak di lantai. Kita tak pernah tahu ke mana pengarang tua itu pergi sore itu. Dan kita hanya tahu ia kembali tengah malam dengan langkah sempoyongan sambil meracau tidak karuan.

Ia menendang kursi, kaleng bekas makanan ringan, botol-botol bekas air mineral, dan meja kerjanya, hingga foto istrinya terjatuh dan kacanya pecah setelah menghantam lantai. Lalu ia melemparkan koran yang memuat tulisannya ke lantai dan menginjaknya dan ia memuntahkan isi perutnya di koran itu. Ia tergeletak, lalu berguling-guling di atas muntahannya. Kita begitu waswas kalau-kalau pengarang tua itu melemparkan tulisan tentang kita yang ada di atas meja kerjanya lalu menginjak-injaknya sebagaimana yang ia lakukan pada koran yang memuat tulisannya. Tapi untungnya ia tidak melakukannya, dan kita merasa bersyukur.

Esok paginya, setelah ia sadar dan mendapati foto istrinya tergeletak di lantai dengan bingkai yang berantakan, ia mencabut foto itu dari bingkainya lalu mendekapnya erat-erat dengan tanpa henti air matanya terus menetes. Dan kesedihannya semakin menjadi-jadi ketika ia mendapati koran yang memuat tulisannya telah kotor dan rusak oleh muntahannya sendiri.

Kita hanya menjadi penonton dan kembali ikut tenggelam dalam kesedihan. Kita mengutuki kesedihan-kesedihan itu sebagai sesuatu yang lebih menyakitkan dari kematian. Dan dalam kesedihan itu, kita berharap pengarang tua itu segera menyelesaikan cerita tentang kita, sepasang merpati dan kembali menulis cerita yang baru dengan tokoh sepasang badut yang jenaka.

***

Kadang-kadang sesuatu yang kita inginkan bisa saja menjadi kenyataan. Terbukti, di suatu pagi yang mendung setelah sekian lama ia tenggelam dalam kesedihan karena selembar foto, pengarang tua itu kembali menulis dan melanjutkan cerita tentang kita. Harapan kita agar penulis tua itu menulis cerita yang baru dengan tokoh sepasang badut yang jenaka sedikit demi sedikit akan menuju pada kenyataan. Walaupun apa yang kita harapkan belum tentu menjadi kenyataan.

Kita selalu berharap sesuatu yang terbaik untuk pengarang tua itu, tetapi kita tak pernah berpikir tentang nasib kita dalam cerita yang sedang ditulisnya. Pengarang tua itu menceritakan kau mati ditembak oleh seorang pemburu saat kita sedang asyik bertengger di sebuah pohon kamboja sambil bercakap-cakap tentang masa depan yang bahagia. Jantungmu pecah setelah tertembus isi senapan, dan tubuhmu meluncur ke tanah. Aku terbang menyusul tubuhmu yang meluncur tanpa kendali. Aku tak tahu harus melakukan apa saat itu. Menerbangkanmu ke tempat yang jauh dan mengobati lukamu sambil berharap kau hidup lagi, menyerahkan diri pada pemburu itu agar ditembak dan segera menyusulmu, atau melawan pemburu itu dengan segenap tenagaku? Tetapi cerita berkehendak lain. Isi kepala pengarang tua itu berbeda dengan isi kepalaku. Dia malah menceritakan aku menangis tersedu-sedu di samping tubuhmu yang tak bernyawa tanpa melakukan sesuatu yang lebih berharga daripada sekadar menangis. Saat pemburu itu mendekat, ia malah menceritakan aku terbang menghindari sang pemburu. Betapa bodohnya pengarang yang selalu bersedih karena selembar foto itu. Kenapa ia tidak menceritakan kalau aku mati bersamamu ditembak pemburu itu.

Setelah kematianmu, pengarang tua itu menceritakan diriku pergi ke tengah hutan yang sepi dan aku tinggal di sebuah pohon yang jauh di tengah hutan yang tak bisa dijamah oleh para pemburu. Di sana aku semakin tenggelam dalam kesedihan dan menyesal telah meninggalkanmu dan membiarkan pemburu itu melumat habis tubuhmu menjadi santapan yang enak baginya. Sungguh pengarang yang bodoh.

Dan parahnya, pengarang tua itu malah meninggalkan cerita tentangku begitu saja. Ia berubah menjadi pemurung dan tubuhnya semakin ceking. Kemudian disusul dengan batuk yang seirama gonggongan anjing, dan ia menghabiskan hari-harinya di atas tempat tidur.

Hingga akhirnya pengarang tua itu tak pernah beranjak lagi dari tempat tidurnya, yang kemudian disusul dengan bau busuk yang menguar di seluruh ruangan. Suatu sore orang-orang masuk ke kamar itu setelah bersusah-payah mendobrak pintu dan mendapati tubuh ceking pengarang tua itu telah dimakan ulat.

Sepeninggal pengarang tua itu, aku benar-benar kesepian dan selalu berharap ada seseorang yang menemukan cerita ini dan membebaskan aku dari kesedihan. Karena setelah kematian pengarang tua itu, tidak ada seorang pun yang datang ke rumah ini, selain seekor anjing borok yang selalu berteduh ketika hujan.

Suatu hari dalam keputusasaan, tiba-tiba tebersit dalam pikiranku bahwa kisah kita adalah kisah hidup pengarang tua itu yang ditulisnya dengan tokoh sepasang merpati.

 

(*)

 

 

Gerimis…

happy-couple-on-the-beach

“Perkenalkan, Namaku Gerimis…” Begitulah suara yang tiba-tiba muncul, di suatu sore musim kering. Dia terhenyak di antara sunyi yang mengepungnya. Begitu saja, perempuan muda itu datang dan berucap salam kepadanya. Tiba-tiba saja, dia seperti terdesak dan terpaksa masuk ke sebuah dunia yang selalu disebutnya sebagai kenangan. Kenangan, di manakah sebenarnya tempat itu?

Maka, demikianlah yang terjadi. Setiap kalimat yang diucapkan bibir cantik itu, memaksa lidahnya sendiri untuk menciptakan—atau paling tidak—mengambil kosa kata lain, yang lebih indah tentu saja, menurut pertimbangannya.

Percakapan mengalir di beranda itu. Senja melorot dengan sangat cepat, dan menelanjangi tubuh malam yang molek. Laki-laki muda itu kembali di sebuah kenangan.

 

Lanjutkan membaca “Gerimis…”

Drupadi

drupadi

“SEHARUSNYA tempat ini menjadi kenangan yang indah. Saksi sebuah pesta pernikahan yang tak akan terlupakan…“

Kalimat itu meluncur rapuh dari bibir seorang lelaki tua yang tak kukenal, ketika aku sedang duduk bersantai di taman ini menikmati langit November yang dipenuhi guguran kelopak flamboyan. Aku terhipnotis dalam waktu sekejap. Lelaki tua itu memandangi ranting-ranting yang menjulur rendah di hadapan kami. Semata merah. Bulir-bulir daun hijau seolah hanya kelopak, dan mahkotanya adalah merah yang menyala kontras di paparan langit biru sore hari. 

Namun, seperti halnya virus, kenangan pahit menular begitu cepat meskipun kita buta terhadap lakon yang sebenarnya. Begitu pula aku. Kata-kata sekelumit yang ditaburkan dengan perih itu membuatku tertular getirnya. Lanjutkan membaca “Drupadi”

Sebuah Sesuatu

kita pernah, —pada satu fase ketika kita belum mengenalnya— menjadi seseorang yang berbahagia. memiliki selaksa alasan untuk tertawa. lalu kemudian ia datang. dengan tingkah lucu dan memesona. membuat kita jatuh cinta dalam pikatnya yang paling pekat.
rasanya dunia menjadi lebih istimewa dan sempurna. meski sendiri itu baik, ternyata berdua jauh lebih indah, —sepertinya. tanpa sadar, perlahan kita menjadikan ia sebagai satu-satunya alasan untuk berbahagia. tak ada hal yang dapat menggantikan selain bersamanya. lalu semua raga dan jiwa yang dulu utuh tanpa cela, perlahan luruh ke dalam ia. menyatu bersama debar dan jiwanya. keakuan yang dulu kita punya untuk tetap hidup pelan—pelan menghilang. tergantikan dengan keberadaan ia sebagai semesta. pusat segala kehidupan dimulakan.

lalu masa itu datang. ketika semua harapan tak sesuai kenyataan. saat kebahagiaan secara simultan menjelma menjadi perpisahan yang memuakkan. ia pergi jauh menghilang. meninggalkanmu tepat di belakang. tak peduli pada segenap semesta yang kau sematkan kepada ia. di titik nadir rasa kehilanganmu, kau benar-benar tersadar. hal yang kau kira hanya kehilangan ia, ternyata lebih mengerikan dari yang ada. kau kehilangan kendali atas dirimu sendiri. seolah kau sudah lebih dulu mati sebelum sempat kehilangan nyawa. jiwamu menghilang bersamanya. lalu di sinilah kau berada; duduk termenung mendekap lutut. memeluk bayanganmu sendiri, —satu-satunya hal yang tak meninggalkanmu sendiri.

melupakan kebenaran fakta bahwa; kita pernah, —pada satu fase ketika belum mengenalnya— menjadi seseorang yang pernah berbahagia. memiliki selaksa alasan untuk tertawa. maka, kini perkenankan aku untuk bertanya. jika dulu saja kita pernah berbahagia meski tak pernah ada ia, mengapa sekarang tidak?

seka air mata dan berkemaslah. mari pindah dari kesedihan yang dicipta-cipta. sebab, dengan ada atau tanpa ia, kau selalu berhak berbahagia….

Antara Aku, Kamu, dan Suamimu

5122901

“Selamat pagi, Jeng…”
Ah, dia lagi!
“Pagi!” aku memaksa senyum. Tak berselera sebenarnya untuk melakukannya. Tapi aku tak ingin menarik perhatiannya. Jadi, aku senyum saja, agar ia biasa saja. Tak banyak mendengar pertanyaan darinya selalu lebih baik. Karena dia takkan berhenti melakukannya, seakan seperti ingin menguliti bersih-bersih. Seperti polisi menanyai pencuri. Dia senang bertanya dan senang pula menjawab. Kadang dia melakukannya tanpa pertanyaan sebelumnya. Begitulah dia, harus ada jawaban untuk pertanyaannya, sebagaimana dia senang memberi jawaban, meski tak ada pertanyaan untuknya.

Lanjutkan membaca “Antara Aku, Kamu, dan Suamimu”

Shelma Rindu Ayah…..

gadis-kecil-dengan-lilin

Malam sudah sangat larut, Shelma mendengar suara itu lagi. Suara yang terdengar dari ruang tengah. Suara yang akhir-akhir ini terlalu sering ia dengar meski ia tak ingin mendengarnya.

Shelma menyalakan lampunya. Lalu, perlahan membuka pintu, mengintip dari celah pintu yang terbuka. Ayah berdiri membelakanginya, menghadap ke arah Ibu. Ibu menatap Ayah dengan wajah marah yang tak mau kalah.

“Lalu, kau pikir seorang perempuan harus berada di rumah terus-menerus? Kembali saja kau ke zamanmu kalau begitu, zaman batu!” maki Ibu.
“Ini pukul berapa Nien? Ini hampir dini hari. Apa pantas kau pulang selarut ini? Kau punya tanggung jawab sebagai ibu dan tentu kalau kau masih mau, sebagai istriku.”

“Heiii, aku sudah membereskan pekerjaan rumah, aku sudah menyiapkan makanan. Sudahlah, kau terlalu berlebihan, sesekali aku juga butuh hiburan. Menjadi istrimu ternyata tak semenyenangkan yang aku du..”

Plakkk!!!

Sebelum Ibu melanjutkan ucapannya, Shelma melihat Ayah melayangkan tangannya ke wajah Ibu. Seketika, Ayah langsung menutup wajahnya sendiri, seolah menyesal telah melakukannya.

“Berani-beraninya kau, Bajingan! Memang siapa kau, laki-laki miskin yang menumpang hidup dari harta orangtuaku. Pergi kau dari rumah ini, aku muak melihatmu….”
Shelma melihat Ayah tergugu. Lalu, dalam sekejap, Ayah berbalik, terpaku sebentar menatap Shelma, lantas berjalan menuju kamarnya.

Tak beberapa lama, Ayah keluar lagi membawa sebuah tas kecil. “Ayah!!!” Shelma menjerit. “Ayah mau kemana?”
“Kau akan baik-baik, saja peri kecilku. Jadilah gadis yang baik ya? Ayah sayang kamu…” ujarnya sambil mengusap kepala Shelma. Ada bening mengalir di sudut matanya.

Lalu, Ayah pergi. Shelma tak pernah lagi bertemu Ayah semenjak malam itu. Tahun demi tahun, rindu Shelma kepada Ayah semakin biru.

Malam ini, Shelma terbangun lagi. Kali ini bukan karena suara pertengkaran, tetapi suara cekikikan Ibu dari kamarnya. Kali ini, entah dengan siapa….

Shelma teringat Ayah. Betapa Ayah selalu ada saat Shelma tak bisa tidur. Shelma teringat dongeng-dongeng yang diceritakan Ayah. Dongeng-dongeng yang menenangkan.

Shelma melihat lilin di atas nakas. Shelma teringat akan dongeng Ayah tentang seorang gadis kesepian yang menyalakan korek api. Setiap korek api yang menyala, ia bertemu bahagia.

Lalu, Shelma menyalakan lilin, masih terdengar suara desah Ibu di kamar sebelah. Shelma menyalakan banyak lilin. Dalam setiap nyala, dia melihat Ayah. Ayah tertawa, ia pun juga tertawa. Ada rumah, juga ada Ibu. Ibu yang tak selalu pulang larut malam.

Dongeng yang Ayah ceritakan ternyata benar. Gadis dengan korek api bertemu bahagia. Shelma dengan nyala lilin juga bertemu bahagia.

Pelan-pelan, Shelma tertidur dengan tenang.
Lilin-lilin itu membakar apa saja disekelilingnya.

(*)

Pada Suatu Pertemuan

images

Lelaki itu mengenakan kemeja lengan pendek warna biru langit. Dimasukkan ke dalam celana jeans hitam yang baru saja ia ambil dari laundry. Rambutnya yang basah tersisir rapi menutupi kerah baju. Janggutnya tandus tercukur licin. Ada semerbak wangi parfum di lehernya.

Sementara baju warna abu-abu membungkus tubuh si perempuan. Dipadu dengan jeans biru kegemarannya. Rambutnya segar, seperti baru saja keramas sehabis mandi sore hari. Ada seulas lipstick tipis menyapu bibir kesumbanya. Tatapannya lembut, menandakan si pemilik mata itu penuh kasih. Ada aroma segar tercium dari tubuhnya.

Berdua mereka bertemu untuk melangsungkan santap malam. Si lelaki
masih berdiri di hadapan si perempuan. Tangan kirinya dengan cepat menggamit tangan kiri si perempuan, lantas menggenggamnya. Bibirnya mendarat di pipi kiri si perempuan. Cup! Dan si perempuan tersipu malu. Dengan punggung tangan dielusnya pipi perempuan yang putih bertelur itu.

Kini mereka duduk berhadap-hadapan. Tangan kiri mereka masih saja saling menggenggam di atas meja. Ada lampu temaram menghiasi suasana di sana. Mata mereka masih saja terus menatap. Seperti sudah puluhan tahun tak pernah bertemu. Ada kerinduan yang memuncak yang ingin disampaikan. Padahal setiap hari mereka toh tetap bertemu. Namun masih tetap saja selalu begitu.

“Kau bawa bunga untukku?”
“Ini.” si lelaki mengeluarkan setangkai kembang dan disodorkan pada kekasih hatinya itu. Si perempuan tersipu-sipu, tapi hatinya bahagia. Matanya tetap menatap lekat pada si lelaki. Seperti takut kehilangan untuk selama-lamanya. Padahal setiap hari mereka terus bertemu.
“Hai!”
“Hai!”
Lagi-lagi mereka tertawa bersama.

Tak berapa lama makanan pun tersaji mengepul di hadapan mereka. Sambil sesekali manatap piring, mereka makan dengan nikmat tiada tara. Ada segumpal kerinduan di sana. Ada secupuk cinta yang tak mungkin mereka naifkan. Mereka ingin mereguk apa yang sedang mereka rasakan. Kalau saja saat itu ada yang memperhatikan mereka, pasti akan minta barang secuil kebahagiaan yang tampak pada bahasa tubuh mereka.

“Enak?” tanya si lelaki.
“Tak pernah kurasakan yang seperti ini.”
“Itu karena kau makan bersamaku.” tukas si lelaki berkelakar.
“Aiihhh!”
Dan mereka masih terus menatap lekat dengan gigi terbuka tanda gembira. Sesekali si lelaki membetulkan letak rambut si perempuan. Menyematkannya di balik telinga. Tak jarang si perempuan pun membetulkan kerah kemeja si lelaki, serta mengusap wajahnya. Mereka tampak begitu mesra. Orang akan iri jika melihatnya.

“Kangen aku?” tanya si perempuan.
“Selalu.”
“Sungguh?”
“Tentu saja.”
“Hmmm…”
“Hmmm apa?”
“Aku senang.”
“Aku juga.”
“Kenapa kita baru bertemu sekarang?”
“Karena semesta baru mempertemukan kita saat ini”
“Kenapa tidak dari dulu. Kemana saja kau selama ini…”
“Aku ada. Begitu juga dengan dirimu. Mestinya kau memberikan sinyal, ada di mana dirimu selama ini?”
“Kau tidak mencariku.”
“Puluhan tahun aku menunggu tanda-tanda keberadaan dirimu.”
“Oh…”
Dan mereka saling mempererat genggaman tangan kiri mereka.

Setiap hari mereka bertemu. Setiap saat. Pada setiap detak jantung yang mereka rasakan. Tapi mereka tetap merindukan saat-saat berjumpa dan bertatapan mata seperti ini. Ada begitu banyak rasa yang menyeruak yang ingin mereka sampaikan. Ada kekuatan magis yang menyembul setiap mereka menyebut nama masing-masing darinya. Tapi mereka hanya bisa melakukannya dengan cara seperti ini:

Duduk menghadap layar monitor, mencurahkan ribuan kata lewat keyboard, mengirimkan tatapan sayang melalui webcam, membisikan sederet kalimat cinta melalui microphone , mendengarkan belaian rindu melalui headphones, santap malam bersama, bercerita, membaca sajak, bernyanyi, serta memeluk dan menemani tidur beralaskan jendela Yahoo! Messeger. Dimensi ruang dan waktu sudah tak berarti lagi.
Mereka tahu mereka saling mencinta, tapi kaca monitor ini…
Aahhh… Cinta Dunia Maya…

(*)

I Will Survive

i-will-survive-original-recording-7-638

“At first I was afraid
I was petrified
I kept thinking
I could never live without you by my side”

Hujan mulai reda. Sisa titik-titik air masih menggaris di langit, menyisakan sedikit gerimis. Kutengadahkan tangan kiri ke atas, seperti hendak menakar takdir hujan di sore yang abu-abu ini. Barisan panjang jalan di hadapanku mulai bergerak. Sketsa perjalanan yang masih berputaran, tentang antara menuju dan yang tersendat di sela-sela.

“But then I spent so many nights
Just thinking how you’d done me wrong
And I grew strong
I learned how to get along”

Baiklah, sudah saatnya. Aku berdiri. Sesaat mendapati tali sepatuku terlepas dan aku harus berlutut membetulkannya. Lantas dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku, kumulai langkah pertama.

“So now you’re back
From outer space
I just walked in to find you here
Without the look upon your face
I should have changed my stupid lock
I would have made you leave your key
If I’d have known for just one second
You’d be back to bother me”

Satu, lalu dua, dan seterusnya. Kuhitung jumlah langkah yang tertinggal di jejak con-block basah trotoar. Satu ayunan kaki kanan ke depan. Satu kepingan dirimu yang kutinggalkan di belakang.

“Oh now go,
Walk out the door
Just turn around now
You’re not welcome anymore
Weren’t you the one who tried to break me with desire
Did you think I’d crumble
Did you think I’d lay down and die”

Sementara hujan masih rinai. Merintik menjadi tempias di wajahku yang pernah kau tangkupkan dengan kedua tanganmu sepenuh hati. Ahh, cinta. Ia adalah langit yang lembut melingkupi lingkaran waktu kita. Puisi yang terlipat menjadi tangkai-tangkai bebungaan yang kita tanam ketika pelangi masih rahim di langit yang basah. Seperti sore ini.

“Oh no, not I
I will survive
As long as I know how to love I know I’ll be alive
I’ve got all my life to live
I’ve got all my love to give
I will survive
I will survive
Yeah, yeah”

Adakah yang lebih mengajari irama ketukan luka hati selain gerimis sore hari yang semakin mengabur? Sedikit ke kiri. Buat lompatan lebar. Ada beberapa hal yang memang sebaiknya dielakkan. Seperti genangan air di depan. Atau tentangmu. Bukankah pernah kukatakan, hidup ini adalah birama. Maka gambarkan saja tangga nada dan kita berloncatan diantaranya.
“Naik dan turun?”, tanyamu.
“ Seperti jatuh cinta dan patah hati”, kataku.

“It took all the strength I had
Just not to fall apart
I’m trying hard to mend the pieces
Of my broken heart
And I spent oh so many nights
Just feeling sorry for myself
I used to cry
But now I hold my head up high”

Aku kembali mengambil nada. Berjingkat dalam lompatan, sedikit berputar, mempertemukan kedua tapak kaki di udara. Kepingan- kepingan dirimu semakin berjatuhan, berserakan dalam kenangan yang tertinggal di genangan air belakang. Ahh, sepertinya perlu kunyanyikan sebuah serenada untuknya. Tentang kesedihan yang baiklah kusulang menjadi cinta yang indah untuk selanjutnya.

“And you see me
With somebody new
I’m not that stupid little person still in love with you
And so you thought you’d just drop by
And you expect me to be free
But now I’m saving all my loving
For someone who’s loving me”

Hujan sore hari yang semakin menipis seperti mengajakku berlari. Kutarik keluar kedua tangan dari saku dan kurentangkan mereka serupa sayap yang membentangi langit. Satu lalu dua dan aku mulai berlari. Merasakan angin dan titik-titik air serupa embun beriapan di wajah dan helai-helai rambutku, riang gembira. Kepingan besar dirimu yang terakhir terlepas dan terburai di udara. Aku berhenti. Mengambil nafas dan mendengar jantungku menyanyikan orchestra dalam momentum pencapaian. Kutatap lenggang jalan yang terlihat tak berujung dihadapanku. Seorang perempuan berpayung pelangi melintas melewatiku, menyiratkan aroma senja dari ujung gaunnya yang melambai. Aku tersenyum, mengepalkan kedua tanganku dan kembali berlari. . .

“I will survive
I will survive
Yeah, yeah. . .”

[Song: I Will Survive_Gloria Gaynor]

Bunga

hijab-bunga-2701

PERNAH melihat orang memperhatikan bunga melati yang sedang mekar selama delapan jam terus menerus? Mungkin tidak pernah.Banyak orang suka memperhatikan bunga melati yang indah dan harum kalau sedang mekar. Tetapi kalau delapan jam terus menerus, menatap, tersenyum, bahkan tidak jarang seperti bercakap-cakap dengan sang melati? ini pasti bukan suatu hal yang biasa. Bahkan, orang pasti bilang itu kalau tidak edan ya sinting.
Tetapi Patria tidak edan dan tidak sinting. Dia waras, paling tidak begitulah katanya berkali-kali. ”Siapa yang mengatakan aku sinting, maka merekalah yang sinting. Siapa yang mengatakan aku edan, jelas dia sendirilah yang edan. Aku waras! Aku tidak edan dan juga tidak sinting! Tentang merenung berjam-jam di depan bunga melati? Huh… cuma mereka yang tahu menghargai keindahan saja yang bisa mengerti tingkahku. Jiwa-jiwa kasar, jiwa-jiwa tak mengerti keindahan ciptaan Tuhan, jangan harap mengerti tindakanku!” begitu Patria sering mengungkapkan pernyataan pribadinya pada teman-teman dekatnya. Salah seorang teman dekatnya, yang mempercayai pernyataannya, adalah aku. Aku juga percaya pada semua alasannya. Dan bukan itu saja, aku juga memujanya. Buah pikirannya, yang kadang-kadang dituangkan dalam tulisan-tulisannya, yang selama ini memang harus kuakui belum pernah dipublikasikan karena rupanya belum ada penerbit atau redaksi yang mengerti jiwanya, selalu menarikku hingga jauh ke alam khayal yang aku sendiri kadang-kadang tidak menyadarinya. Bahasanya lembut dan enak dibaca, sedangkan isinya meledak-ledak penuh semangat. Makin sering aku membaca tulisannya, makin teringatlah aku padanya. Bahkan kalau dia tidak menulis sampai berminggu-minggu lamanya, aku gelisah. Jiwa dan batinku gelisah. Aku perlu dan harus membaca tulisannya. Pernah, karena tidak tahan menahan kegelisahan hatiku, aku mendesak dia menulis sesuatu. Apa saja, kataku waktu itu. Pokoknya aku bisa membaca. Dan apa katanya padaku?
”Kau pikir menulis bisa dipaksa-paksa!” katanya sambil memandang mukaku tajam-tajam. Aku sampai-sampai menundukkan kepala. Mukaku terasa panas kena tatapan tajam matanya. ”Menulis tidak bisa dipaksa-paksa, Bung!” katanya. ”Kau mungkin berpikir aku seperti penulis-penulis terkenal itu, ya? Yang katanya, sibuk menyelesaikan pesanan tulisan dari berbagai instansi atau bahkan dari berbagai surat kabar dan majalah? Huh, kau salah besar kalau beranggapan begitu. Di mataku penulis semacam itu betapa pun terkenalnya, tidak ada artinya sama sekali. Menulis adalah indah. Kepandaian menulis manusia diturunkan langsung oleh dewa-dewa, untuk mengungkapkan segala perasaan dan keindahan. Jadi bagaimana mungkin keindahan bisa dipesan? Keindahan tidak bisa dipesan! Keindahan tidak bisa dipaksa! Keindahan harus dihayati, dikumpulkan, diseleksi, baru kalau sudah benar-benar perlu, keindahan itu bisa dituangkan ke atas kertas!”
Aku mendengarkan semua keterangannya dengan muka serius. Tetapi diam-diam harus kuakui bahwa aku tidak mengerti apa yang dia lontarkan itu. Kata-katanya mungkin terlalu tinggi bagi diriku. Yang bisa kutangkap dengan jelas hanyalah gaya berbicaranya, meledak-ledak, hampir sama dengan gaya tulisannya. Sejak kena teguran itu, aku tidak pernah mendesak-desak dia untuk menulis. Kalau menulis ya kubaca, kalau tidak menulis sampai berminggu-minggu, ya aku diam saja. Meskipun aku terpaksa diam dalam kegelisahan.
Pagi ini, ketika aku bertandang ke rumah Patria, kembali kulihat dia duduk di depan rumpun melati. Beberapa bunga melati yang mekar menebarkan bau harum yang halus. Sudah sepuluh hari lebih Patria tidak menulis sesuatu. Aku mendekat dari belakang, dan berdiri di dekatnya. Dia, seperti biasanya, tidak bergeming dengan sikapnya. Bunga melati di depannya seakan-akan dikhawatirkan hilang, kalau dia menoleh ke arahku.
”Betapa bahagianya kalau aku mengerti makna melati yang mekar silih berganti ini,” desisku pelan. Aku yakin Patria mendenar desisanku, kecuali pikirannya tidak berada di kepalanya waktu itu. ”Bunga kuncup, kemudian mekar, adalah peristiwa alam biasa. Apanya yang aneh?” aku lanjutkan desisanku, karena kulihat dia tidak bergeming. Kulihat Patria sedikit bereaksi, bahkan kemudian menoleh ke arahku. Matanya yang keruh tetapi bersinar tajam itu seakan-akan menyambar tengkukku. Tetapi aku mencoba untuk tetap tenang.
”Kau bilang mekarnya bunga melati bukan sesuatu yang aneh?” tanyanya setelah puas menatap aku. Aku mengangguk. ”Kau bisa membuat kuntum kuncup melati menjadi mekar?” tanya tajam. Aku melengak. Sialan, tidak kuduga dia mengajukan pertanyaan tidak karuan semacam itu. Siapa yang bisa membuat sebuah bunga mekar, kecuali menunggu? Lagipula tanpa diusahakan pun, kuntum bunga akan mekar sendiri kalau sudah tiba waktunya. Ini hukum alam, bukan?
”Tanpa kita mekarkan dia sudah mekar sendiri,” jawabku. ”Aku bertanya padamu, bisa tidak engkau membuat kuncup melati mekar?” ulang Patria, tidak memperdulikan jawabanku. ”Aku tidak bisa,” kataku. ”Tetapi untuk apa? Bisa pun aku tidak akan melakukan itu! Untuk apa? Tanpa kita bantu, tanpa kita paksa, kuncup melati dan kuncup semua bunga, pasti akan mekar sendiri!”
”Huh, jadi jelas engkau tidak bisa, bukan?” kata Patria dengan suara mengejek. ”Kalau engkau, manusia yang menganggap dirinya makhluk serba bisa, tidak mampu memekarkan kuncup bunga, mengapa engkau beranggapan mekarnya bunga melati bukan sesuatu yang aneh? Sesuatu yang ajaib? Sesuatu yang hebat? Sebaiknya kau jangan asal bicara, Bung!” Kembali dia memanggilku dengan sebutan ”Bung”. Padahal kemarin dia masih memanggilku dengan namaku sendiri. ”Ribuan kuntum bunga mekar setiap hari. Ini sudah berlangsung sejak bumi ini diciptakan!” kataku. ”Apanya yang harus dibuat aneh dengan ini? Mungkin cuma engkau sendiri yang menganggapnya aneh, Patria!”
”Pasti bukan aku sendiri!” jawab Patria cepat. ”Aku yakin masih ada orang yang merasa dan berpikiran seperti aku, terutama orang yang benar-benar mau menggunakan akal budi dan perasaannya. Orang yang benar-benar mau berpikir dan mencoba mengerti keindahan alam. Tidak seperti engkau, Bung!” Aku menarik nafas panjang. Harumnya bunga melati kembali kurasakan. Berdebat dengan Patria, kadang-kadang menyenangkan, tetapi tidak jarang menjengkelkan. Seperti pagi ini umpamanya. Diam-diam aku dibuatnya jengkel. Aku ikut duduk di sisinya. Sisa-sisa embun di rumput kurasa mulai menembus celana panjangku. Tetapi apa peduliku dengan embun, sementara di sisiku ada orang keras kepala, yang sialnya justru orang yang kukagumi.
”Kau lihat melati-melati yang mekar ini!” kata Patria. ”Perhatikan juga kuncup-kuncup yang belum mekar itu. Paduan yang indah, bukan?” ”Bukan cuma melati yang punya keindahan dan keadaan seperti itu!” jawabku seenaknya. ”Ribuan bunga juga punya keadaan seperti itu. Mawar, kenanga, dahlia, aster, anyelir, dan semua bunga, juga seperti melati ini. Kau tampaknya memuja sekali bunga melati?”
”Mengapa tidak?” Patria balas bertanya. ”Hanya orang bodoh dan orang tolol yang tidak akan mengagumi melati.”
”Bagaimana kalau aku tidak mengaguminya?” tanyaku kesal. ”Kau tanya saja dirimu sendiri, masuk golongan yang mana engkau. Yang bodoh atau yang tolol?” Hampir saja aku marah waktu itu. Tetapi belum sempat aku marah, mataku tertarik pada seseorang yang tiba-tiba saja ada di depanku. Hai, siapa dia ini, seruku dalam hati. Juga kapan munculnya? Meskipun aku berbicara dan berdebat dengan Patria, tetapi aku yakin aku tidak melihat orang ini datang. Kulirik Patria. Dia pun rupanya sama seperti aku. Terkejut dan heran melihat kehadiran orang itu. Orang itu tersenyum pada kami berdua dan berkata, ”Boleh aku ikut duduk bersama dan berbincang-bincang dengan kalian?” Bibirnya kulihat bergerak aneh, tidak seperti suara yang terdengar di telinga kami. ”Aku mendengar perdebatan kalian sangat menarik.” Patria mengangguk lebih dahulu, baru kemudian aku.
”Boleh saja, mari silakan duduk!” kata Patria. Orang itu tersenyum. Senyum paling aneh yang pernah kulihat. Aku tidak bisa atau sulit sekali menggambarkan senyum itu, bahkan bedanya dengan senyum kebanyakan orang juga sulit kukatakan. Tetapi naluriku mengatakan bahwa senyum itu tidak sama dengan senyum kami. Orang itu melangkah mendekat ke arah kami dan kemudian duduk. Langkahnya dan cara duduknya juga tidak seperti kami. Kulirik kembali Patria. Apakah dia merasakan hal seperti yang kurasakan ini?
”Kalian sedang mengagumi bunga melati, bukan?” katanya setelah duduk.
”Cuma aku,” kata Patria. ”Sedangkan dia,” sambil menunjuk ke arahku, ”menganggap mekarnya melati biasa-biasa saja sama seperti mekarnya bunga-bunga yang lain.” Orang itu kulihat mengangguk-angguk. Aku lebih banyak memperhatikan orang itu daripada memperhatikan Patria yang langsung membuka kartunya dan kartuku.
”Tidak aneh kalau kalian berdua berbeda pendapat seperti ini!” kata orang itu kemudian. ”Dulu sewaktu masih hidup, aku juga seperti itu.” Aku terkejut setengah mati. Dulu waktu masih hidup? Jadi sekarang sebenarnya dia sudah mati? Tetapi Patria kulihat biasa-biasa saja. Bangsat, sialan, gerutuku dalam hati. Tulikah telinganya, atau tumpulkan otaknya sampai-sampai kata-kata yang begitu gamblang dan jelas tidak dimengerti? ”Aku dulu juga seperti engkau…” orang itu melanjutkan sambil kepalanya melirik ke arah Patria. ”Aku cinta, kagum dan bahkan tergila-gila pada bunga!” Orang itu sama sekali tidak melirik ke arahku. ”Bahkan aku sampai menceraikan istriku karena dia tidak suka pada bunga. Aku merasa tindakan benar. Bunga diciptakan tidak untuk disia-siakan, bukan?”
(*)

Tiara

images

Tiba-tiba aku menjadi perempuan. Tubuhku tubuh perempuan. Mata, hidung, rambut, mulut, dada, kelamin, semua milik perempuan. Oh, tidak, Tuhan! Kenapa aku jadi begini? Bukankah aku terlahir sebagai seorang laki-laki?

Aku baru saja bangun tidur ketika kudapati tubuhku tubuh perempuan. Aku mengenakan piyama halus tembus pandang. Aku berada di sebuah kamar tidur. Di dindingnya yang berwarna pink, menempel foto-foto perempuan. Ada wajah artis Korea, bintang India, beberapa selebritis Indonesia berwajah blasteran. Di sudut ruang ada meja rias, lengkap dengan berbagai alat kosmetiknya. Di bawah jendela terletak vas bunga, ditanami dahlia kertas.

Spontan aku bangkit dari ranjang menuju kaca rias. Kulepaskan piyama. Aku telanjang. Oh, tidak! Hampir saja aku pingsan memelototi tubuh polosku di cermin. Aku tergoda pada tubuhku sendiri. Hasratku hasrat laki-laki.

Aku cubit kulit tanganku. Jangan-jangan aku bermimpi. Tapi cubitan itu rasanya sakit sekali. Membekas dan berwarna merah. Berarti ini nyata. Bukan mimpi. Aku benar-benar menjadi perempuan. Sungguh tak pernah aku bayangkan.

Di cermin rias aku berdiri mematung dengan mulut menganga. Wajahku wajah seorang gadis remaja usia 17 tahun. Cantik. Rambutku tergerai sepinggang. Direbonding. Bibirku tanpa lipstik, tapi merah merekah. Tanganku gemetar meraba kulit tubuhku yang lain. Aku merasakan gejolak tak wajar. Oh, tidak! Ini tidak boleh terjadi!

Tiba-tiba kudengar suara ketukan dari arah pintu. Aku terkejut. Cepat-cepat aku sambar piyama yang kukenakan tadi. Aku bungkus tubuhku kembali.

“Lho, kok belum mandi, Tiara? Tuh, Papa sudah menunggu sejak tadi.” Wajah seorang perempuan, sekira 40an tahun, memandangku heran. Wajahnya cantik. Di tangannya membawa baki berisi secangkir teh dan sepotong roti. Tanpa permisi dia masuk ke kamarku dan meletakkan sarapan itu di meja kecil, di bawah jendela.

Aku masih mematung. Siapa perempuan ini? Kenapa dia memanggilku dengan nama Tiara? Aku pandangi perempuan itu sepenuh heran.

“Kamu kenapa, sayang? Kok masih diam begitu? Ayo, cepat mandinya, nanti terlambat lagi ke sekolah. Tuh, sarapan sudah Mama siapkan.”

Oh, dia menyebut dirinya Mama. Benarkah dia mamaku? Sejak kapan aku mempunyai seorang mama yang cantik seperti dia? Bukankah aku… ah, kenapa aku sulit sekali mengingat siapa diriku sebenarnya? Aku merasa ada sesuatu yang aneh terjadi pada diriku. Ya, aku yang sekarang bukanlah aku yang diciptakan Tuhan.

“Jangan sampai Mama mandikanmu, Tiara? Kau sudah besar. Bukan gadis kecil lagi. Ayo, cepatlah mandi. Lihat jam sudah pukul 6.30. Cepatlah!”

Aku tatap jam dinding di sudut kamar.

Perempuan itu mengambil handuk. Menggantungkan handuk itu di pundakku. Aku rasakan dorongan tangannya agar aku segera masuk ke dalam kamar mandi. Dalam kondisi diri kebingungan, aku masuk juga ke kamar mandi. Aku kunci pintu dari dalam. Di depan bak air, aku kembali mematung.

Di cermin datar yang menempel di atas bak mandi, aku tatap wajah dan tubuhku lagi. Yang kelihatan, tetap saja wajah dan tubuh perempuan. Ini nyata. Untuk kesekian kali, aku tergoda dengan tubuhku sendiri. Oh, ini gila!

Aku tidak peduli lagi pada diriku, siapa sebenarnya aku. Cepat-cepat aku mengguyur tubuh dengan air. Menggosokkan sabun ke sekujur daging di tubuhku. Membasahi rambut, hingga prosesi mandi itu selesai.

Aku lihat perempuan yang menyebut dirinya Mama itu masih berada di kamarku. Ia tersenyum. Di ranjang, aku lihat baju putih dan rok abu-abu. Kedua pakaian itu rapi terlipat.

“Nah, itu baru anak Mama. Segar bukan sehabis mandi?” Dia tersenyum. Dan, dengan terpaksa aku balas senyumnya. Senyum tanpa makna. Sebab sampai detik itu aku tidak juga mengenal diriku sendiri.

Tanpa disuruh lagi aku kenakan pakaian. Di saku baju menempel lambang Tut Wuri Handayani. Oh, aku seorang siswi sekolah menengah. Tapi sejak kapan aku bersekolah? Entahlah. Beberapa menit kemudian tubuhku berbungkus pakaian anak sekolahan. Mama membantu menyisir rambutku yang basah tergerai. Juga merapikan lipatan kerah baju.

“Hmm, anak mama cantik sekali,” gumam perempuan itu. Aku diam.

Setelah meneguk teh hangat dan memakan sepotong roti, aku ikuti langkah Mama. Aku temui sebuah ruangan besar di luar kamar. Oh, ini rumah orang kaya. Perabotannya banyak dan mewah. Lukisan besar-besar tergantung di dinding. Foto keluarga dengan bingkai berwarna emas hampir terdapat di setiap sudut. Sofa besar dan empuk. Layar kaca LCD. Juga ada sebuah aquarium yang di dalamnya ikan arwana berenang riang. Aku takjub.

“Hei, anak Papa pagi-pagi sudah melamun. Kau terlambat lagi bangun ya?” Seorang laki-laki setengah baya memandangku. Dia sebut dirinya Papa. Pakaiannya rapi. Berdasi. Ia tepuk lembut kedua pipiku. Aku tersadar. Aku balas senyuman itu dengan keterpaksaan.

“Sudah sarapan kan?”

Aku mengangguk.

“Kalau begitu, sekarang Papa antar ke sekolah.”

Mama datang membawakan dua tas. Satu tas diserahkan kepada Papa. Satu tas lagi diberikan kepadaku.

“Hati-hati bawa mobilnya, Pa. Tiara rajin belajar ya sayang?”

Mama mencium keningku. Aku mencium tangan Mama. Mama mencium tangan Papa. Aku kira, ini keluarga yang sangat bahagia.

Papa membimbingku ke luar rumah. Di halaman parkir sebuah sedan mewah berwarna hitam. Mobil keluaran terbaru, atau juga baru dibeli. Warnanya berkilat. Aku terpana.

Papa mengemudi sedan itu. Aku duduk di samping Papa. Di pintu pagar, seorang perempuan setengah baya membukakan pintu. Mobil berjalan lambat ke luar halaman.

Di jalan raya, lalu lalang kendaraan banyak sekali. Di kiri-kanan jalan berdiri gedung-gedung tinggi dan megah. Di beberapa pertokoan aku baca papan nama bertuliskan nama toko dan nama jalan. Terbaca beberapa kali tulisan Jakarta. Jakarta? Oh, inikah Kota Jakarta itu? Aku berada di tengah belantara Jakarta, Ibu Kota Negara Republik Indonesia? Aku anak seorang kaya raya yang diantar ke sekolah dengan mobil mewah? Tuhan, benarkah ini nyata? Lagi-lagi aku tidak percaya.

Mobil sampai di sebuah gerbang sekolah. Anak-anak seusiaku turun dari kendaraan-kendaraan mewah milik orangtua mereka. Aku pun turun dari mobil Papa. Papa juga turun, mengantarku hingga gerbang sekolah. Para pengantar hanya sampai di depan pintu gerbang saja, tidak masuk ke dalam.

“Papa berangkat ke kantor lagi, ya? Ingat, rajin belajar.”

Aku mengangguk dengan wajah celingak-celinguk melihat ke kiri dan ke kanan. Papa masuk kembali ke mobilnya. Katanya, Papa pergi ke kantor. Papa melambaikan tangan ke arahku. Aku balas lambaian itu.

“Hai Tiara, apa kabar? Pagi ini kamu cantik sekali.”

Seorang gadis seusiaku berseragam sekolah menyapa lembut. Ia baru turun dari mobil yang dikemudikan seorang laki-laki tua. Mungkin sopir pribadinya.

“Hai juga,” aku membalas sapaannya, “kamu siapa?”

Gadis itu melongo menatapku. Keningnya berkerut.

“Kamu sudah pikun ya, sampai tidak ingat namaku lagi?” Gadis itu marah. Wajahnya memerah. Aku salah tingkah. Di bajunya aku lihat menempel sebuah nama, Santika.

“Eh, Santika. Tidak kok, maaf ya. Aku hanya bercanda.”

Aku tersenyum kepada gadis itu. Aku lihat dia membalas senyumku dengan keterpaksaan. Untung ada nama itu.

“Kamu aneh hari ini, tidak seperti biasanya ceria,” ujarnya.

“Oh, ya? Aku biasa saja kok,” jawabku.

“Ya sudah. Ayo, kita terlambat nih,” ajaknya tergesa.

Aku ikuti langkahnya. Kami masuk ke halaman sekolah yang luas dan terlihat asing bagiku. Sejak kapan aku sekolah di situ?

***

Aku sudah berada di dalam kelas. Seorang guru laki-laki berkumis tebal berjas safari berdiri di depan kami. Aku dan kawan-kawanku duduk manis mendengar khotbah guru agama itu. Dia bicara tentang etika pergaulan muda-mudi ibu kota yang semakin parah. Mulai dari tawuran pelajar, pemakaian narkoba, gemerlapnya dunia malam, hingga praktik prostitusi tersembunyi. Semua siswa diam mendengar khotbahnya yang berapi-api. Tetapi jiwaku tak juga tenang. Gelisah. Aku masih memikirkan diriku. Kenapa semua jadi seperti ini?

Jam pelajaran hari itu berlalu dengan sangat lambat. Banyak orang menyapaku, tetapi aku pandangi dengan wajah kebingungan. Balasanku itu membuat mereka keheranan. Sepertinya mereka sangat mengenaliku.

“Tiara, kamu sakit?” tanya Sinta.

“Mana senyummu yang indah itu?” canda Dudi.

“Kamu tidak seperti biasanya, deh,” seru Ruri.

“Hei, mana Tiaraku yang manis?” goda Heru.

Ah! Bermacam tanya orang kepadaku. Apa yang harus aku jawab? Sepertinya Tuhan memberi aku peran sebagai seorang gadis  cantik anak orang kaya bernama Tiara. Sungguh aku tidak pernah menduga kalau akhirnya aku jadi seperti ini. Sebab gejolak batin yang aku rasakan adalah gejolak laki-laki. Tetapi anehnya aku tidak juga dapat mengingat diriku sendiri.

Bersama kawan-kawan lainnya aku tinggalkan kelas lantaran jam sekolah telah usai. Aku saksikan senyum kawan-kawanku yang gembira di hari itu. Aku paksakan berjalan sendirian tanpa teman-temanku yang lain. Aku terus ke luar pintu pagar sekolah yang bertembok tinggi.

Di luar aku saksikan mobil-mobil bagus parkir berbaris menjemput kawan-kawanku. Bermacam orang aku lihat, hampir semuanya berdasi dan berpakaian rapi. Agaknya orangtua kawan-kawanku itu orang kaya semuanya. Pantas kalau anak-anak mereka dimasukkan ke sekolah yang mewah ini.

Aku menunggu Papa. Tapi kenapa Papa tidak muncul-muncul juga menjemputku? Ke mana mobil mewah Papa? Bukankah Papa tadi pagi mengantar aku ke sekolah ini? Atau Papa lupa sehingga aku harus pulang sendiri ke rumah? Tapi di mana rumahku? Oh, Tuhan. Apa lagi yang terjadi ini?

Aku menunggu dengan penuh kecemasan. Berharap Papa benar-benar tidak lupa dan segera datang menjemputku lalu aku naik ke dalam mobil mewah miliknya. Tapi hingga sejam lebih aku menunggu tidak ada tanda-tanda kalau aku akan dijemput.

Mataku mulai basah. Dalam kegelisahan aku palingkan wajah ke belakang. Aku sangat terkejut, tiba-tiba aku tidak melihat lagi gedung sekolahku. Aku berdiri di pinggir jalan dengan pemandangan hamparan tanah lapang luas. Di mana gedung sekolah tempat aku belajar seharian tadi? Ke mana menghilangnya? Kenapa aku berada di tepi jalan raya yang teramat asing ini?

Kedua lututku menggigil. Rasa takut menghantui sekujur tubuhku.

Dalam keadaan kebingungan, tiba-tiba muncul sebuah mobil sedan berwarna hitam berkilat berjalan pelan mendekat ke arahku. Aku mengingat-ingat mobil siapa itu. Rasanya aku mengenal mobil itu. Ya, mobil itu mobil Papa yang mengantar aku ke sekolah pagi tadi. Papa menjemputku. Tak salah lagi. Wajahku merona senang. Aku akan selamat dari ketakutan.

Mobil hitam itu berhenti tepat di hadapanku. Sesaat mobil itu mematung. Aku tak bisa melihat tubuh Papa di dalam mobil karena kacanya hitam. Tiba-tiba pintu mobil terbuka. Keluar dua orang laki-laki berbadan kekar, berjaket hitam dan berkacamata hitam. Kedua laki-laki itu sangat asing dan tidak pernah aku lihat sebelumnya. Mereka bukan Papa yang mengantar aku ke sekolah. Oh, siapa mereka?

Kedua lelaki itu mendekat ke arahku. Tanpa berbicara sepatah kata pun mereka mencengkram lenganku lalu menariknya keras agar aku masuk ke dalam mobil. Aku meronta-ronta. Cengkraman tangan itu sangat sakit aku rasakan. Aku menjerit histeris. Tapi entah kenapa suaraku seolah tidak terdengar oleh orang-orang yang berlalu lalang di trotoar ataupun kendaraan-kendaraan yang melintas di jalan raya. Sepertinya orang-orang di sekitarku tidak memerhatikan kalau aku diseret paksa oleh kedua lelaki asing itu.

“Aduh, sakit, Om! Om berdua ini siapa? Aku tidak kenal kalian! Lepaskan aku! Aku tidak mau ikut!!!” Suaraku melengking minta dilepaskan. Tapi agaknya hanya angin saja yang mendengar.

Aku terus berteriak, meronta-ronta. Air mata membasahi kedua pipiku. Tetapi para lelaki itu tetap saja tidak peduli. Semakin aku meronta semakin keras tarikannya. Sampai di mulut pintu mobil aku didorong masuk dan terduduk di jok belakang. Di dalam mobil, menunggu seorang lelaki berbadan kekar lainnya. Jumlah mereka empat orang. Satu orang duduk di depan sebagai pengemudi, dan dua orang yang menarikku tadi. Ke empat wajah mereka tidak kukenal sama sekali. Oh, Tuhan. Mereka mau apa?

Di dalam mobil aku terus menendang-nendang dan berteriak-teriak. Orang-orang itu tidak peduli. Semuanya membisu. Tubuhku dijepit tubuh dua lelaki kekar yang duduk di kiri-kananku. Aku nyaris tak bisa bergerak dan bernapas. Aku berteriak sekuat tenaga, tetapi percuma. Tak ada orang yang memerhatikan aku, apalagi hendak menolongku di dalam mobil itu.

Aku dibawa entah ke mana. Daerah yang aku lewati benar-benar asing. Belantara kota dengan gedung-gedung menjulang tinggi, mencakar langit. Jalan yang dilewati bukan jalan yang tadi pagi aku dan Papa tempuh ke sekolah.

Tiba-tiba mobil berjalan pelan. Aku lihat pemandangan padang rumput luas. Di kejauhan tampak sebuah bangunan tua. Mobil menuju bangunan itu. Tangisku mulai reda. Perasaanku bukan lega, tetapi aku kehabisan air mata. Jantungku semakin berdegub kencang mengingat apa yang akan terjadi.

Mobil berhenti tepat di depan bangunan tua dengan pintunya yang tinggi dan tertutup rapat. Ke empat lelaki bertubuh kekar turun. Tubuhku diseret paksa. Tergopoh-gopoh aku turun. Aku dibawa masuk ke dalam bangunan itu. Ruangan gelap. Cahaya matahari hanya masuk lewat lubang-lubang atap yang bocor.

“Lepaskan aku, Om! Aku mau diapakan?!” teriakku meronta.

Ke empat lelaki itu tak juga bersuara. Mereka terus menyeretku masuk ke dalam gedung melewati ruang-ruang yang zig-zag. Aku merasakan ruangan itu teramat panjang dan berliku-liku dan tak berujung. Tetapi aku tetap dipaksa berjalan. Ke empat lelaki itu baru berhenti menyeret tubuhku ketika kami sampai di sebuah ruangan yang lebar, disinari sebuah bohlam redup berwarna kuning. Ruangan itu temaram. Tumpukan kertas kardus dan koran bekas berserakan di mana-mana. Jaring laba-laba hitam bergantungan di langit-langit ruangan, menambah suasana mencekam.

Tiba-tiba tubuhku didorong paksa dan aku tersungkur ke atas tumpukan kardus di lantai. Aku menjerit keras lantaran terkejut dan sakit. Tas punggung yang aku kenakan dilepas paksa. Ke empat lelaki itu tiba-tiba berubah wujud menjadi serigala buas berwajah menyeramkan dengan gigi dan taring tajam. Tubuhku diterkam dan dicabik-cabik. Berdarah-darah. Percikan darah membasai lantai dan dinding-dinding kusam di ruangan itu.

Kejadian itu begitu cepat. Aku menemukan tubuhku menjadi mayat. Apakah aku masih seorang perempuan?

(*)